Tim Kementerian ESDM melihat lokasi bocornya
H2S di PLTP Sorik Marapi Unit II, awal 2021 lalu.
Foto: Kementerian ESDM
Jakarta, OG Indonesia – Seperti halnya industri hulu migas, kegiatan operasi panas bumi juga termasuk yang berisiko tinggi. Salah satunya terkait ancaman paparan gas beracun Hidrogen Sulfida (H2S) yang bisa berakibat fatal bagi manusia di sekitarnya jika tidak diantisipasi dan dimitigasi.
Seperti pada awal tahun 2021 ini, sempat terjadi kasus paparan gas beracun H2S di proyek PLTP Sorik Marapi unit II yang dikelola PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Akibatnya, 5 warga di sekitar proyek meninggal dunia karena menghirup gas beracun tersebut. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan bahwa berdasar hasil investigasi, kejadian tersebut terjadi karena perencanaan yang tidak matang.
Sugeng Riyono, Ketua Umum National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Divisi Energy, menegaskan bahwa dalam kegiatan operasi panas bumi seharusnya sudah disiapkan peralatan HSE, termasuk alat detektor H2S yang berfungsi untuk memberi tanda jika ada paparan gas beracun H2S di sekitar wilayah operasi.
“Harus punya alat H2S detector yang betul-betul bagus. Jadi, alat itu sudah dikalibrasi kapan? Performance-nya, sensitivity-nya bagaimana? Kemudian juga dibuat survei H2S, di mana saja dan berapa konsentrasinya,” jelas Sugeng dalam hari kedua pelatihan media “Pengenalan Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya” yang diadakan Oil & Gas Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) secara daring, Minggu (26/9/2021).
Pemetaan sumber H2S dan seberapa besar konsentrasinya di suatu wilayah kerja (WK) panas bumi menurut Sugeng sangat vital perannya dalam menjaga keselamatan seluruh pekerja dan warga di sekitar daerah operasi. “Itu harus diketahui. Tanya ke geofisis, ahli reservoir-nya, harus terus dicek,” ujarnya.
Sugeng menceritakan bahwa saat ini sudah bisa dipetakan keberadaan H2S di suatu wilayah melalui citra dari satelit, walaupun memang datanya cukup mahal. “Itu lintasannya bisa menunjukkan ada H2S atau tidak,” terangnya. Selain itu bisa juga dilakukan teknik scan dengan flaring untuk mengetahui adanya kebocoran H2S dari lokasi operasi panas bumi. “Bisa di-flare untuk di-scan dan dilihat kamera untuk melihat asap yang spesifik H2S,” lanjut Sugeng.
Bahkan saat ini sudah lebih canggih lagi karena sudah menggunakan drone untuk untuk memetakan dan mengidentifikasi keberadaan H2S dari udara. “Jadi posisinya bisa di-set up, drone-nya harus bergerak ke sini, nembak ke sana atau memotret terus. Sehingga kita punya kepastian (terkait adanya H2S atau tidak), dan areanya juga lebih tercakupi,” paparnya.
Sugeng mengingatkan bahwa inisiatif deteksi H2S dari waktu ke waktu harus semakin bagus dilakukan oleh perusahaan pengembang panas bumi. Di samping itu, aspek pengawasan dari regulator dalam hal ini Ditjen EBTKE Kementerian ESDM juga sangat krusial dalam memastikan penerapan HSE di daerah operasi panas bumi berjalan dengan baik dan sesuai aturan. “Inspector-nya harus kayak militer, supaya kuat dan bisa memastikan bahwa risk assessment H2S-nya bisa dikuantifikasi. Harus sangat tepat dan enggak hanya kira-kira,” tutupnya. RH
Oleh: Ridwan Harahap
Source: http://www.ogindonesia.com/2021/09/pentingnya-pemetaan-bahaya-h2s-di.html