17 - 20 SEPTEMBER 2025

Jakarta International Expo, Jakarta - Indonesia

Harga Energi Fosil Melonjak, Diversifikasi Energi Perlu Dimatangkan

Harga Energi Fosil Melonjak, Diversifikasi Energi Perlu Dimatangkan

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petugas berada di antara salah satu unit instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (29/9/2021).

 

Petugas berada di antara salah satu unit instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (29/9/2021).

China, Inggris, dan sejumlah negara di Eropa mengalami kelangkaan pasokan sumber daya energi. Ini mendorong lonjakan harga energi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara, di tingkat internasional.

Berdasarkan laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent pada Jumat (1/10/2021) tercatat 79,28 dollar AS per barel. Pada perdagangan Selasa (28/9/2021), harga Brent sempat tembus 80 dollar AS per barel atau yang tertinggi sejak 2018.

Harga gas alam pada perdagangan Jumat (1/10/2021) tercatat 5,62 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Adapun harga batubara 234 dollar AS per ton.

China saat ini mengalami peningkatan kebutuhan daya listrik, sementara mereka kekurangan pasokan batubara dan listrik. China pun diketahui telah berkomitmen menegakkan pembatasan emisi.

Di Inggris, kepanikan ditambah lagi dengan jumlah pengemudi truk BBM yang  berkurang sehingga menyebabkan gangguan pengangkutan dari kilang ke pom bensin. Lonjakan harga gas internasional menimbulkan ancaman gulung tikar sejumlah perusahaan energi di Inggris.

Sejumlah negara Eropa lain juga tengah memasuki musim dingin yang menyebabkan kebutuhan energi naik. Sementara suplai energi, yang salah satunya mereka andalkan berasal dari energi terbarukan, seperti angin, dinilai belum mampu mencukupi dan pada saat bersamaan mereka menghadapi lonjakan harga energi fosil, seperti gas alam.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, Kamis pekan lalu, dalam talkshow Hot Economy di BeritaSatu, menilai, fenomena yang terjadi di Inggris salah satunya karena gagalnya proses diversifikasi energi. Mereka berkomitmen secara drastis menuju ke energi terbarukan, tetapi fundamental sistem mereka belum siap. Dia berharap, Indonesia yang kini tengah transisi energi fosil ke energi terbarukan belajar dari kejadian di Inggris dan Eropa lainnya.

”Saya rasa perlu ada satu keseimbangan dalam diversifikasi energi di Indonesia. Indonesia cukup lama menjadi negara yang pertumbuhan perekonomiannya berbasis energi fosil atau fosil fuel based economy. Dengan demikian, dalam rangka transisi energi ataupun menuju emisi karbon nol, kita harus memikirkan dulu menurunkan emisi bukan buru-buru mematikan sumber energi fosil kita,” ujarnya.

Pada tahun 2020, target pengurangan emisi karbon Indonesia adalah 58 juta CO2 dan realisasinya 64 juta ton CO2. Satya menilainya sebagai sesuatu yang positif. Menurut dia, batubara yang dianggap sebagai energi kotor harus terus dikurangi emisi karbonnya bagaimanapun caranya, seperti carbon capture.

Gas alam yang jadi penyangga selama masa transisi energi memerlukan infrastruktur distribusi yang kuat dan merata. Pajak karbon yang dimulai tahun 2022 juga mesti didukung.

Satya mengungkapkan, dekarbonisasi pembangkitan listrik yang disampaikan PLN pada tahun 2025 adalah dengan cara mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) menjadi pembangkit listrik energi terbarukan baseload 1,1 gigawatt (GW). Pada tahun 2030, PLN akan memensiunkan PLTU subcritical tahap pertama, tahun 2035 PLTU subcritical tahap kedua, tahun 2040 pensiun PLTU supercritical, dan tahun 2045-2055 untuk pensiun PLTU ultra supercritical.

”Menuju emisi nol bukan kejadian ’besok’. Kami pun sekarang masih memikirkan semua aspek dalam pembahasan penyusunan Peta Jalan Transisi Energi Indonesia,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, harga ketiga energi fosil — minyak mentah, gas alam, dan batubara — amat dipengaruhi pasar. Harga ketiganya saling terkait. Semakin banyak konsumsi energi fosil tersebut, volatilitas yang dihadapi suatu negara semakin tinggi.

Fabby menjelaskan, untuk fenomena lonjakan harga batubara internasional di atas 200 dollar AS per ton, di Indonesia tidak terlalu terpengaruh karena adanya kebijakan penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri (domestic market obligation/ DMO). DMO tahun 2021 minimal 25 persen dari produksi per produsen. Harga jual batubara untuk pembangkit listrik di dalam negeri maksimal 70 dollar AS per ton.

Aturan tersebut tertuang di dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri 2021 pada 29 Desember 2020. Apabila tidak ada DMO seperti ini, volatilitas yang dialami dalam negeri Indonesia juga akan tinggi.

Dia memandang fenomena yang dihadapi oleh Inggris, China, dan sejumlah negara Eropa lainnya karena persoalan suplai dan permintaan. Fabby  sependapat dengan Satya bahwa persoalan yang mereka hadapi  menyangkut diversifikasi energi.

”Semakin lama mempertahankan bauran energi berbasis energi fosil, volatilitas akan selalu ada. Lalu, peta jalan transisi energi dan diversifikasi energi setiap negara berbeda,” ujar Fabby.

Kebutuhan energi di Indonesia masih akan terus tumbuh. Saat ini rata-rata kebutuhan energi listrik per kapita 1.200 kWh. Pengurangan pemakaian sumber energi fosil tidak akan memengaruhi kebutuhan energi per kapita. Menurut dia, itu artinya suplai energi berbasis energi terbarukan harus sama ataupun malah double dari suplai energi fosil.

Fabby optimistis dengan potensi sumber energi terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, dia berharap, dalam rangka transisi dan diversifikasi energi ke depan, infrastruktur produksi hingga distribusi energi terbarukan harus diperhatikan pemerintah.

”Persebaran sumber energi terbarukan  di Indonesia berada di berbagai pulau. Sementara saat ini adopsi masih terpusat di Jawa dan Sumatera sehingga kami harap pemerintah memikirkan pula infrastruktur interkoneksi,” tambah Fabby.

 

Panas bumi

Board Member  National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Win Sukardi di sela-sela pelatihan media ”Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) dan Pamerindo, Minggu (26/9/2021), mengatakan, intermiten panas bumi sebenarnya paling stabil dibandingkan dengan jenis energi terbarukan lainnya.

Hanya saja, dalam pengembangannya, terutama untuk pembangkit listrik, butuh investasi tinggi sejak eksplorasi. Pada saat bersamaan, PT PLN (Persero) membeli listrik yang dihasilkan dengan harga yang belum ekonomis (belum optimal memberikan pengembalian investasi).

Sebagai gambaran, harga listrik panas bumi berkisar 10 sen dolar per kilowatt jam (kWh). Sementara tarif EBT lainnya berada di bawah 10 sen dolar per kWh, seperti harga listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 6 sen-7 sen dollar per kWh dan biomassa 7 sen-8 sen dolar per kWh.

”Dengan pendekatan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi atau IRR, harga listrik dari panas bumi semestinya bisa berkisar 17 sen dollar per kWh. Sekarang perhitungannya memakai sejumlah parameter, seperti kemampuan PLN, lokasi, dan kapasitas proyek pembangkit listrik panas bumi yang akan dikerjakan,” tutur Sukardi.

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan di Indonesia — surya, hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan samudra — berkisar 417,8 gigawatt. Akan tetapi, pemanfaatannya baru sekitar 2,6 persen.

Bauran energi pada tahun 2020 adalah batubara 38 persen, minyak bumi 31,6 persen, gas alam 19,2 persen, dan energi terbarukan 11,2 persen.

Manager Government Public Relations PT Pertamina Geothermal Energy Sentot Yulianugroho menjelaskan, dalam draf rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk periode 2021-2030, porsi pembangkit listrik energi terbarukan 51,6 persen. Namun, dalam draft tersebut, penambahan kapasitas pembangkit listrik panas bumi lebih rendah dari target Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Dia menduga, ada jenis energi terbarukan lain yang jadi prioritas untuk RUPTL meski intermiten panas bumi lebih stabil.

”Draf RUPTL memang masih tarik ulur. Kalaupun panas bumi tidak jadi prioritas, dugaan kami karena mereka mengejar produksi listrik dari jenis energi terbarukan lainnya yang konstruksi infrastrukturnya lebih cepat,” kata Sentot.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengakui, masa depan pemakaian batu bara tidak akan lama karena sejalan dengan tuntutan internasional terkait pengurangan emisi karbon. Meski demikian, dia percaya pemakaian batubara masih jadi baseload suplai energi yang menopang selama masa transisi energi di Indonesia. ”Kami mendukung jika ada peta jalan energi jangka panjang,” ujarnya.

Hendra menambahkan, fenomena kelangkaan pasokan sumber energi di China yang belakangan ramai dibicarakan sebenarnya bukan hal baru. Tanda-tanda krisis di negara itu telah lama terjadi karena dipicu faktor cuaca. Dia juga meyakini adanya faktor geopolitik.

 

Oleh: MEDIANA | Editor: M FAJAR MARTA

Source: https://www.kompas.id/baca/desk/2021/10/04/harga-energi-fosil-melonjak-diversifikasi-energi-perlu-dilakukan-secara-matang/?fbclid=IwAR2dIODyeDoUGxRBi_8aWu6eQTZqFoaeSLQf7IDm7Vm1cfKEUZkIUG52nXo