Dari rampungnya proyek PLTP telah memastikan akses energi terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern bagi bagi semua (affordable and clean energy). Namun dalam prosesnya dari mulai pengeboran sampai menjadi PLTP membutuhkan tahap panjang, investasi dan sumber daya yang banyak.
Seiring perkembangan solusi dan teknologi, pengerjaan proyek pengembangan panasbumi menjadi lebih ringkas diiringi beberapa keunggulan lain.
Skala proyek tidak luas
Luas area telah menjadi salah satu yang harus dipikirkan dalam proyek. Umumnya membangun sebuah Pemangkit EBT (Pembangkit Listrik Energi Baru Terbarukan) memerlukan lahan yang sangat luas, seperti; PLTA butuh ditunjang waduk sangat luas. Ada juga PLTB yang butuh lahan luas di perbukitan dan PLTS yang juga butuh area luas jika ingin mencapai nilai keekonomian tertentu.
Namun tidak bagi PLTP, karena rata-rata hanya butuh puluhan sama seratus hektar (ha) saja atau dibawah 5 persen dari WKP. “Energi panasbumi ini memang tidak memerlukan lahan yang luas,” tegas Sentot.
Durasi pengembangan proyek bisa dipangkas
Saat ini pengembangan PLTP bisa mencapai 7 sampai 10 tahun hingga COD. “Ini merupakan salah satu tantangan berat,” kata Eko Budi Lelono. Ashadi mengamini bahwa umumnya sebuah proyek PLTP memang dikerjakan selama 7 tahun dari mulai kegiatan survei awal, eksplorasi, tes pengeboran, project review dan planning.
“Kegiatan itu biasanya dilakukan pada tiga tahun pertama. Kemudian tahun keempat baru mulai dikerjakan field development diikuti proses konstruksi dari tahun keempat hingga keenam. Dan akhirnya di tahun ketujuh COD,” paparnya.
“Bayangkan kalau tujuh tahun payback-nya kapan? Tetapi kalau bisa commissioning dalam dua sampai tiga tahun otomatis return-nya akan lebih cepat, buat investor akan lebih menarik dan buat developer juga lebih menarik,” imbuh Ashadi.
Akan tetapi, saat ini ada terobosan dari sisi project management, yang bisa membuat proyek selesai dalam 3 tahun saja. Di antara kuncinya adalah memangkas durasi dengan mengerjakan beberapa tahapan bersama secara paralel. Selain itu melakukan breakthrough teknologi dan pendekatan project development.
Manufaktur PLTP bisa modular
Ashadi menjelaskan, selama ini biasanya proyek PLTP dilakukan dalam skala besar dengan kapasitas 50-100 Megawatt (MW). Namun seiring perkembangan teknologi maka inovasi konstruksi PLTP juga berubah.
“Saat ini ada teknologi modular sehingga PLTP dengan kapasitas 5 Mega (MW) hingga 8 MW. bisa langsung pasang power plant dan menuju general income. Dampaknya? Kita bisa ngebor 1 sampai 2 sumur, sambil paralel kita ngebor sumur yang lain lagi. Selain bisa lebih cepat dari sisi waktu, PLTP modular juga bisa mendatangkan early revenue lebih cepat bagi perusahaan,” tukasnya.
Ditunjang sistem interkoneksi
Listrik produksi PLTP pada umumnya berasal dari daerah pegunungan sering digambarkan akan sulit untuk menyalurkan ke berbagai konsumen baik itu industri, rumah tangga dan sebagainya. Terlebih Indonesia sendiri merupakan Negara yang terdiri dari beribu kepulauan.
Menjawab tantangan ini Pemerintah sedang mendorong pengembangan interkoneksi ketenagalistrikan dalam pulau maupun antarpulau. Interkoneksi yang disebut dengan Super Grid itu diharapkan bisa menjaga keandalan dan juga dapat mengatasi adanya over supply di suatu sistem besar.
Ciptakan multiplier effect
Sentot menjelaskan, multiplier effect PLTP PGE telah mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dalam pembangunan daerah. Kontribusi paling utama adalah pembangunan infrastruktur. Dengan lokasi yang selalu berada di remote area, perusahaan harus membangun infrastruktur jalan untuk memperlancar transportasi logistik.
“Jalan tadinya hanya berupa tanah, bahkan hanya jalan setapak, diperlebar dan diaspal. Bahkan jika tanahnya labil, dilakukan pembetonan,” ujar Sentot.
Disamping infrastruktur, papar Sentot, PLTP juga mendatangkan multiplier effect terhadap emission reduction, pendidikan, hubungan dan kerjasama luar negeri dan optimasi domestic natural energy resources.
Selain pemanfaatan panasbumi kategori tidak langsung untuk PLTP, sebenarnya ada juga pemanfaatan langsung. Win Sukardi, Anggota Dewan National Centre for Sustainability Reporting (NCSR) Divisi Energi, menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 bahwa pengusahaan panasbumi untuk pemanfaatan langsung itu bagi kepariwisataan, agribisnis, industri dan lain-lain.
Oleh: Adi Wicaksono