Indonesia dijuluki surganya energi panasbumi karena menyimpan sekitar 40% cadangan dunia. Anugerah ini salah satunya karena faktor lokasi geografis Indonesia yang berada di ring of fire. “Dengan dikelilingi gunung-gunung berapi. Ini merupakan kekayaan alam yang bukan main dalam bentuk geothermal,” ujar Soebroto (98), selaku Ketua Dewan Pengawas ASPERMIGAS (Asosiasi Perusahaan Migas), saat membuka acara pelatihan media, Sabtu (25/9)
Terlepas dari masih adanya tantangan “klasik” dalam pengembangannya, seperti; pembebasan lahan, feed in tariff dan sebagainya. Di Indonesia, pemanfaatan energi yang sejalan SDGs (Sustainable Development Goals) ini berjalan ke arah positif.
Buktinya, kapasitas terpasang PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi) Indonesia saat ini telah menggeser Filipina dari peringkat ke dua. Bahkan berdasarkan Kebijakan Energi Terbarukan (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), PLTP Indonesia ditargetkan harus bisa mencapai 7,2 GW pada 2025. Artinya, ambisi menggeser Amerika Serikat yang saat ini sebagai peringkat satu produsen panasbumi dunia.
Lantas apa keuntungan dan keunggulan bagi Indonesia memanfaatkan panasbumi dibandingkan dengan energi lainnya? Simak deretan penjelasan para pakar panasbumi pada acara pelatihan tersebut yang diselenggarakan oleh ASPERMIGAS selama dua hari (25-26/9/2021).
Potensi dan sumber daya besar
Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjelaskan, di antara anugrah panasbumi Indonesia adalah sumber uap tak hanya berada di wilayah vulkanik saja. Hal ini karena potensi ada juga di daerah non vulkanik seperti di jalur tektonik atau sesar aktif. Disamping itu, terdapat potensi di cekungan sedimen walaupun temperatur yang dihasilkan tidak setinggi yang telah diproduksi.
“Jika dihitung secara kapasitas listrik maka total sumber daya energinya ada 23,7 GW dengan cadangan sekitar 14,4 GW. Jadi energi ini adalah peluang menahan ketahanan energi Indonesia kedepan. Tapi sekarang pemanfaatannya masih kurang dari 10 persen atau sekitar 2130,7 GW yang belum dimanfaatkan,” ungkap Eko.
Sementara itu, mengutip pemaparan Kepala Geothermal Research Center – Universitas Indonesia, Yunus Daud. Dalam suatu kesempatan pernah menyatakan, bahwa beberapa Negara di Eropa, Asia dan Australia, banyak yang melakukan pemboran sedalam 3000 meter hanya untuk mendapatkan air panas dengan temperature 100oC. Bila ada pun hanya tergolong low temperature system.
“Di tanah air kita, temperatur 100oC bisa diperoleh di permukaan bumi (hot spring). Bila melihat “struggling” negara-negara lain untuk mendapatkan energi geothermal, maka kita patut bersyukur dengan potensi geothermal yang luar biasa: High T, Moderate T dan Low T,” katanya.
Rendah emisi dan ramah lingkungan
Pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 39% di tahun 2030 nanti. Hal ini sejalan dengan komitmen di dalam dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) pada Konferensi Iklim PBB tahun 2015 (COP-21) lalu di Paris, Perancis.
“Isyu global warming membuat dunia menargetkan pada tahun 2060 adalah zero emission sehingga energi panasbumi menjadi salah satu solusi,” kata Moch. Abadi, Direktur JSK Petroleum Academy.
Sebenarnya, lanjut Abadi, polusi yang dihasilkan dari panasbumi adalah sangat rendah sekali bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada, itu hanya limbah sisa uap air saja yang mana bisa dikembalikan ke dalam bumi lewat pipa ataupun diolah menjadi listrik kembali dengan teknologi binary cycle.
Sementara itu, Sentot Yulianugroho, Manager Government Public Relations Pertamina Geothermal Energy (PGE), menyatakan, pihaknya menjadi salah satu perusahaan panasbumi yang aktif dalam mengurangi emisi. Hal ini karena ikut PGE mendukung Net Zero Emission (NZE) hingga 2,6 Juta TON CO2 e/Tahun.
Kontribusi sudah dilakukan PGE lewat mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) terhadap setidaknya 7 (tujuh) Proyek Carbon Credit PGE yang dimulai sejak tahun 2010. PGE saat ini mengelola 15 Wilayah Kerja (termasuk Joint Operation Contract – JOC) dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Dari semua itu, terdapat potensi pengurangan emisi karbon sebesar 9,7 juta ton CO2e/tahun.
Energinya langsung bisa dimanfaatkan
Pemanfaatan energi panasbumi lebih praktis dibandingkan energi fosil. Contohnya pada industri minyak dan gas (migas) yang perlu proses panjang di tahap pengolahan. Migas juga membutuhkan berbagai fasilitas seperti kilang sebelum menjadi aneka produk, termasuk jika ingin ditransformasi menjadi listrik. Belum lagi pada rantai distribusi produknya yang perlu berbagai jenis transportasi.
“Tentu saja ini menjadi sangat rumit. Tapi kalau PLTP efektif uapnya langsung menggerakan turbin dan menghasilkan listrik untuk disalurkan lewat jaringan listrik tinggal tie-in saja,” jelas Abadi.
Tidak intermittent
Jika dibandingkan dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang sangat tergantung sinar matahari, PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) pada hembusan angin, dan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) yang tergantung curah hujan dan debit air. Maka feedstock energi PLTP tercatat lebih terjamin dari Pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan) lainnya
“PLTP mendapat pasokan non stop. Ini karena panasbumi mempunyai energi panas yang konstan dan tidak tergantung iklim dan cuaca sepanjang ekosistemnya terus dijaga,” kata Abadi.
Hampir senada, Sentot menjelaskan, bahwa PLTS memang cenderung intermittent alias pasokannya tidak terjamin karena bergantung kepada faktor cuaca yang bisa mengurangi pancaran sinar matahari untuk PLTS. “Sedangkan PLTP tergolong energi bersih dan pasokannya cukup andal,” pungkasnya.
Memang kendala intermittent sekarang bisa diatasi dengan backup storage ataupun baterai, termasuk opsi konsep Pembangkit EBT Hibrida baik dikombinasikan sesama Pembangkit EBT atau dengan fosil seperti PLTD. Tapi tetap saja ini menambah nilai investasi.
Andal menjadi base load listrik
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 memutuskan memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT). Target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23% pada tahun 2025 nanti.
Terkait hal ini, kata Ashadi, Vice Chairman Jakarta Drilling Society, menyatakan, sebenarnya energi panasbumi itu andal menjadi base load listrik karena energinya selama 24 jam akan tersedia. “Dari kacamata PLN ini juga bisa menjadi base load,” tegasnya.
Senada, Sentot menyatakan, panasbumi sudah terbukti andal sehingga cocok menjadi base load. Ia mengambil contoh saat ada kasus blackout listrik yang terjadi tahun 2019 lalu. Dijelaskannya, saat itu listrik PLTP dalam status sangat siap menopang pasokan listrik yang terhenti. Namun dalam mekanisme pasokan ke jaringan transmisi PLN harus menunggu terlebih dahulu pasokan dari pembangkit lain yang kapasitasnya lebih besar.
Mendukung keberlanjutan
Saat ini di dunia investasi global sedang tren isu keberlanjutan. Salah satu penerapannya meliputi investasi energi yang ramah lingkungan dimana EBT didapuk menjadi salah satu yang ideal. Tak terkecuali di dalamnya adalah sektor panabumi
Sugeng Riyono, Ketua Umum National, Centre For Sustainability Reporting (NCSR) Divisi Energy, memaparkan, keberlanjutan di sektor panasbumi akan mengacu pada model tekno-ekonomi hibrida baru untuk PLTP. Selain itu PLTP juga harus memperhatikan tenaga endogen, keekonomian dari eksploitasi sumber daya panasbumi untuk PLTP.
“Untuk tujuan ini, terminologi standar dan klasifikasi dari literatur ditinjau, seperti “keberlanjutan”, katanya dalam pemaparan.
Tapi bagaimana dalam pengerjaan proyek panasbumi. Apakah benar memakan waktu yang sangat lama dari awal eksplorasi sampai PLTP bisa COD (Commercial Operation Date). Dan apakah sangat rumit dalam proses pengerjaan proyeknya ?
Bersambung ke bagian dua.
Oleh: Adi Wicaksono