Kredit Foto: Pertamina Geothermal Energy
WE Online, Jakarta – Indonesia memiliki potensi panas bumi (geothermal) yang sangat besar mencapai 23,96 gigawatt (GW). Berdasarkan kajian Think Geo Energy pada 2020, Indonesia menempati posisi kedua dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia atau tepat di bawah Amerika Serikat (AS) yang memiliki potensi geothermal mencapai 30 GW.
Meski demikian, pemanfaatan panas bumi di Indonesia terbilang masih relatif rendah. Tercatat, pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru sebesar 2,13 GW atau hanya 8,9 persen dari total potensi yang tersedia.
Memang pemanfaatan harta karun Indonesia di bidang energi tersebut tidak bisa dibilang mudah. Ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi seperti kegiatan pengembangan panas bumi memiliki sifat padat modal, lokasi wilayah kerja mayoritas berada di pegunungan yang remote area, hingga soal isu teknologi.
Manager Government & Public Relation PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Sentot Yulianugroho, mengatakan PGE memiliki komitmen kuat untuk mengoptimalkan potensi panas bumi di Tanah Air. Ia menegaskan PGE akan terus meningkatkan inovasi bisnis yang bermanfaat tidak hanya untuk kinerja perusahaan, tapi juga bagi keberlangsungan lingkungan untuk masa depan.
Saat ini PGE telah mengelola 15 wilayah kerja dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Dari total kapasitas terpasang tersebut, PLTP yang dioperasikan sendiri oleh PGE adalah sebesar 672 MW. Adapun, kapasitas terpasang pengelolaan panas bumi bersama mitra melalui kontrak operasi bersama (joint operation contract) ialah sebesar 1.205 MW.
“Total kapasitas terpasang dalam wilayah kerja PGE ini adalah 88 persen dari kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia,” katanya dalam sesi virtual, akhir September lalu.
Sentot mengatakan PGE sudah melalui perjalanan selama 37 tahun dalam hal pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Perjalanan panjang PGE dimulai dengan pengoperasian monoblok di Kamojang pada tahun 1978. Tercatat, Kamojang menjadi PLTP pertama di Indonesia dengan kapasitas produksi sebesar 250 KW dan diresmikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada saat itu yakni Profesor Soebroto.
“Kamojang dikembangkan dari beberapa sumur yakni KMJ-6, KMJ-7, KMJ-8, KMJ-9, dan KMJ-10,” tutur Sentot.
Berdasarkan catatan sejarah, Pemerintah Kolonial Belanda sudah melakukan eksplorasi potensi panas bumi di Kamojang dengan pengeboran dangkal sebanyak lima sumur pada tahun 1926. Setelah melakukan eksplorasi, Pemerintah Kolonial Belanda juga melakukan uji produksi namun sempat terhenti.
Kemudian pada tahun 1974 PT Pertamina (Persero) mulai melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan mengidentifikasi sebanyak 70 wilayah panas bumi yang salah satunya ialah wilayah Kamojang.
“Untuk lapangan di Kamojang, pembangkit listrik panas bumi konvensional itu sudah beroperasi lebih dari 30 tahun. Operasi pertama kali pada tahun 1982. Sampai sekarang masih terus beroperasi dan kapasitas terus bertambah,” jelasnya.
Ia mengatakan PGE memiliki target untuk meningkatkan kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri mencapai 1.540 MW pada tahun 2030 mendatang. Hal ini selaras dengan target Pertamina untuk mewujudkan program transisi energi di mana energi baru terbarukan akan mencapai 30% pada tahun 2030.
“Selain itu, PGE juga berupaya melakukan pengembangan beyond energy,” tegasnya.
Beyond Energy
Pengembangan geothermal memang sudah lama digadang-gadang akan memberikan kontribusi tidak hanya sebagai sumber energi listrik, tetapi juga di beberapa sektor lain seperti pembangunan daerah, penguatan kapasitas sumber daya manusia, mengoptimalkan sumber daya energi natural domestik, hingga pengurangan emisi gas buang karbondioksida (CO2).
Dengan kapasitas 672 MW, PGE telah berkontribusi terhadap pengurangan 3,6 juta ton CO2 per tahun. Berdasarkan perhitungan versi Carbon Neutral Calculator, pengurangan gas rumah kaca bahkan telah mencapai 14,91 juta ton CO2 per tahun berdasarkan kapasitas PLTP di Indonesia.
Kehadiran PLTP juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal lewat partisipasi dalam pembangunan daerah, khususnya pembangunan infrastruktur. Dengan lokasi yang kerap berada di remote area, PGE harus membangun infrastruktur jalan untuk memperlancar transportasi logistik. PGE mengubah jalan yang sebelumnya berupa tanah menjadi jalan aspal.
Sentot mencontohkan akses jalan Desa Ngarip di kawasan lapangan geothermal Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, yang pada tahun 1990 masih berupa tanah merah dan saat ini sudah terbangun dengan baik akses jalan sepanjang 35 kilometer.
“Kondisi sekarang bus sudah bisa masuk daerah Ulubelu. Saat ini dari wilayah Ulubelu hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menuju Kota Pringsewu yang berjarak 55 kilometer. Sebelumnya, perlu waktu lebih dari tiga puluh jam untuk mencapai kota terdekat,” paparnya.
Di area PGE Area Lumut Balai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dua desa di Kecamatan Semende Darat Laut, Desa Penindaian dan Desa Babatan, juga menjadi terhubung jalan aspal. Sebelumnya, kedua desa itu jauh berada di dalam hutan dan produk pertaniannya sulit bersaing karena mahalnya biaya transportasi. Kini, produk pertanian dari dua desa tersebut lebih laku di pasaran.
Selain itu, di PLTP Kamojang, berbagai tempat di sana menjadi tempat wisata yang menjadi magnet turis lokal. Begitu juga di lapangan geothermal Karaha, Lahendong, dan Sibayak.
“Kami sedang berinisiasi untuk mengembangkan bahan bakar green hydrogen, geothermal tourism, dan lain-lain. Kami berharap ini bisa menjadi masa depan Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Cahyo Prayogo